Pelatihan offline program PSKK 2021 yang terdiri dari dua skema yakni Prosedur Dasar Analisis Kimia dan Validasi Metode Spektrometri pada bulan September. Program pelatihan ini dilaksanakan secara offline di Laboratorium Terpadu Universitas Islam Indonesia. Pelatihan ini merupakan bagian dari program Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja (PSKK) 2021 yang menjadi program bantuan sertifikasi oleh BNSP. Berdasarkan SK BNSP No KEP. 0518/BNSP/III/2021 tentang Penetapan Paket Program Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja (PSKK) bagi Lembaga Sertifikasi Profesi. Selanjutnya untuk LSP Universitas Islam Indonesia (LSP UII) mendapatkan bantuan sebanyak tujuh paket dengan dua skema yaitu Prosedur Dasar Analisis Kimia dan Validasi Metode Spektrometri.

Pelatihan Offline Program PSKK

Peserta Pelatihan Offline Program PSKK

Program ini diikuti oleh mahasiswa dari program studi D3 Analis Kimia, Teknik Kimia, Farmasi, Pendidikan Kimia, dan S-1 Kimia. Dengan detail jumlah peserta yakni 40 peserta untuk skema Prosedur Dasar Analisis Kimia. Selanjutnya untuk  skema Validasi Metode Spektrometri ada 100 peserta. Sehingga totalnya ada 140 peserta yang mengikuti  program PSKK 2021.  Peserta nanti akan dibagi menjadi beberapa batch karena adanya pandemi COVID-19 dan peraturan dari Universitas Islam Indonesia dimana tidak boleh ada kerumunan.

Pelatihan

Dikarenakan pelatihan dilaksanakan di tengah-tengah pandemi COVID-19, pelatihan ini dilakukan dengan pengawasan dari Satgas COVID-19 Universitas Islam Indonesia. Pelatihan offline ini sebagai lanjutan dari pelatihan online yang dilakukan pada bulan Juni 2021. Tapi meskipun demikian, pelatihan offline ini yang merupakan praktik secara langsung  bertujuan agar peserta memiliki pengalaman secara praktik yang nantinya dapat diimplementasikan di dunia kerja. Jadi, peserta tidak hanya mengetahui teorinya saja namun juga mengetahui bagaimana mengimplementasikan teori yang sudah diajarkan.

Pelatihan Offline Program PSKK

Pada pelatihan skema Analisis Kimia Dasar, peserta mempelajari terkait pemisahan golongan dan identifikasi kation maupun anion. Selanjutnya peserta juga  mempelajari analisis gravimetri dan analisis volumetri. Sedangkan untuk pelatihan skema Validasi Metode Spektometri, peserta mempelajari terkait penentuan kadar. Dalam penentuan kadar ini mengimplementasikan prinsip akurasi, presisi, linieritas, dan spesifitas. Lebih lanjut, dalam penentuan kadar juga mengidentifikasi terkait batas deteksi (LOD) dan batas kuantifikasi (LOQ).

Pada Jumat (24/09), Simpul Tumbuh Universitas Islam Indonesia menjadi fasilitator untuk agenda Focus Group Discussion (FGD) mengenai Action Plan Center of Excellence (CoE) SPMKB-BUiLD. Agenda ini sebagai tindak lanjut dari program hibah Erasmus+ BUiLD. Universitas Islam Indonesia menjadi salah satu dari delapan universitas di Indonesia yang mendapat program hibah Erasmus+ BUiLD ini.

Sambutan

Bapak Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D menyampaikan sambutannya dalam FGD Action Plan Center of Excellence (CoE)

Bapak Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D menyampaikan sambutannya dalam FGD Action Plan Center of Excellence (CoE)

Dalam agenda FGD, Bapak Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. menyampaikan sambutannya terkait Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana (SPMKB) Universitas Islam Indonesia yang berfungsi sebagai Center of Excellence (CoE) kegiatan-kegiatan kebencanaan di Universitas Islam Indonesia. Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. menyatakan mendukung penuh terkait Action Plan Center of Excellence (CoE) sehingga mampu mendukung berjalannya resiliensi warga Universitas Islam Indonesia dalam kebencanaan.

Action Plan Teaching and Research CoE

Ibu Dr. Dwi Handayani, S.T., M.Sc. selaku ketua Center of Excellence (CoE)

Ibu Dr. Dwi Handayani, S.T., M.Sc. selaku ketua Center of Excellence (CoE)

Lalu dilanjutkan sambutan oleh Ibu Dr. Dwi Handayani, S.T., M.Sc. selaku ketua Center of Excellence (CoE). Dalam sambutannya Ibu Dr. Dwi Handayani, S.T., M.Sc menjelaskan terkait Action Plan Center of Excellence (CoE). Dalam FGD yang membahas terkait action plan ini akan dibagi menjadi dua kelompok yakni teaching and research dan professional-community service. Untuk teaching and research sendiri terdapat empat fasilitator yaitu Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., Dr. Dwi Handayani, S.T., M.Sc., Sigit Pamungkas, S.E., M.Com., dan Prof. Ir. Widodo, MSCE, Ph.D. Untuk kelompok teaching and research ini outcome yang diharapkan berupa Disaster Learning Outcome (DLO) terkait ketangguhan individu ataupun kelompok dalam menghadapi bencana. Kemudian, partisipan FGD yang termasuk pada bidang  teaching and research memasuki break out room Zoom.

Action Plan Professional-Community Service CoE

Bapak Dr. Yulianto Purwono Prihatmaji, S.T., M.T sebagai koordinator pada FGD untuk bidang professional-community service.

Bapak Dr. Yulianto Purwono Prihatmaji, S.T., M.T sebagai koordinator pada FGD untuk bidang professional-community service.

Lalu kelompok yang kedua pada FGD Action Plan Center of Excellence (CoE)-SPMKB  adalah professional-community service yang juga terdapat empat fasilitator yakni Dr. Yulianto Purwono Prihatmaji, S.T., M.T., Dr. Sus Budiharto, S.Psi., M. Si., Psi., dr. Taufiq Nugroho, Sp. B., dan M. Nurul Ikhsan Saleh, S.Pd.I., M.Ed.  Bapak Dr. Yulianto Purwono Prihatmaji, S.T., M.T sebagai koordinator pada FGD untuk bidang professional-community service. Kemudian, partisipan FGD yang termasuk pada bidang professional-community service memasuki break out room Zoom. Dalam hal ini lebih memfokuskan pada community engagement, Islamic preaching, dan professional task dengan membuat ide, konsep, roadmap, kerja sama dengan desa mitra, dan networking.

Kesimpulan FGD Action Plan CoE

Kesimpulannya dari diadakan FGD ini,  Disaster Learning Outcome (DRLO) sebagai acuan dalam pengajaran dan pembimbingan bagi warga Universitas Islam Indonesia dalam kelanjutan dari Action Plan Center of Excellence (Coe) SPMKB-BUiLD sudah selesai dalam perancangannya. Selanjutnya pada bidang professional-community service sendiri membuat rancangan road map dari professional-community service yang hasilnya berupa mind map. Bapak Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. sebagai Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan mengharapkan kedepannya terdapat progress lebih lanjut atas Action Plan Center of Excellence ini.

Partisipan FGD Action-Plan CoE SPMKB-BUiLD Slide 1

Partisipan FGD Action-Plan CoE SPMKB-BUiLD Slide 2

Partisipan FGD Action-Plan CoE SPMKB-BUiLD Slide 3

Partisipan FGD terkait Action Plan Center of Excellence (CoE) SPMKB-BUiLD

Dwi Handayani, M K Herliansyah, Budi Hartono, Berta Maya Sopha

Evakuasi bencana eruspsi Gunung Merapi yang berlokasi di antara dua provinsi ini, yaitu Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (lereng sisi selatan), Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Magelang (lereng sisi barat), Kabupaten Boyolali (sisi utara dan timur), serta Kabupaten Klaten (sisi tenggara) hingga saat ini masih terus dibahas, hal ini menarik, sebab Gunung Merapi merupakan Gunung Api yang memiliki potensi kebencanaan yang tinggi. Gunung Merapi ini mengalami erupsi setiap 2-5 tahun sekali dan secara geografis terletak diantara pemukiman yang padat penduduk.

Publikasi hasil penelitian dan beragam kajian mengenai eruspsi Gunung Merapi telah dilakukan oleh banyak peneliti selama beberapa dekade. Salah satu publikasi yang telah dipublikasikan ini memaparkan bahwasannya warga masyarakat yang menghuni lereng Merapi dibagi menjadi 5 cluster perilaku yang dibedakan berdasarkan perilaku saat menghadapi bencana erupsi Gunung Api Merapi. Kesiapan tersebut didasarkan pada perilakunya saat menghadapi 3 fase evakuasi yaitu, siap saat memutuskan akan evakuasi atau menunda evakuasi, siap kendaraan, dan mengetahui jalur/arah tujuan evakuasi.

Dirangkum dari ratusan sumber yang merupakan hasil risetnya, 5 tipe perilaku tersebut antara lain (1) Official Leader; (2) Cultural Leader; (3) Vulnerable Group; (4) Masyarakat yang siap (Prepared community member)r; (5) Masyarakat yang tidak siap (Unprepared community member). Dari hasil penelitian ini diharapkan seluruh pihak yang berwenang dapat mempertimbangkan ke 5 tipe perilaku tersebut dalam tahap perencanaan evakuasi maupun selama melakukan proses evakuasi.

Sumber:

https://ieeexplore.ieee.org/abstract/document/7797880 

https://www.krjogja.com/berita-lokal/diy/sleman/di-kawasan-merapi-masih-ada-warga-percayai-mimpi/ 

http://jurnaljogja.com/edukasi-merapi-perlu-lebih-awal/ 

https://m.bernas.id/66957-sistem-evakuasi-bencana-merapi-tekan-korban-jiwa.html

Wiryono Raharjo

Mount Merapi has been regarded as the most active volcano among the 147 volcanoes in Indonesia. Rises 2930 meters above sea level, this stratovolcano is located 28 kilometers north of Yogyakarta City. It has been regularly erupted since 16th century, but the 2010 eruption was seen as the biggest in the past 200 years. Both author’s work place (Universitas Islam Indonesia) and residence are located within 20 kilometers radius from the crater, in which case are considered safe because the danger zone during regular eruption is 7 kilometers radius. However, when the intensity of eruption reached its peak in late October 2010, the government issued a warning which told that areas within 20 kilometers radius from the crater must be vacated. As a result, author and the whole residents of villages within such radius must find temporary shelters, ranging from government-assisted facilities, such as sports and community halls, to residences of extended families and hotels. Universitas Islam Indonesia’s main campus must also be vacated as well. This paper will describe a personal account of author experience from being a member of university’s rescue team to being a refugee who had to find temporary shelter for the family, while maintaining the academic activities during the three weeks warning period. The paper also looks at the current situation, over 5 years after the deadly 2010 eruption, to see the continuity and change of the built environment, which may reflect people’s attitude towards the danger of Mount Merapi eruption.

Sumber:

https://www.humangeo.su.se/english/development-research-conference-2016/programme/panels/panel-40-1.270627

Wiryono Raharjo

Indonesia, the largest archipelago in the world comprises (officially) over 13,000 islands, spreading between mainland Asia and Australian continent. Among these islands, Java is the fifth largest and the most urbanized. The island comprises four provinces, namely West Java, Central Java, East Java, and the Special Province of Yogyakarta.

The family planning programme orchestrated by Suharto administration in the 1970s is rarely discussed by the later governments. Many couples tend to have over two children, which contradicts the popular slogan of Suharto’s family planning programme: “two is enough”. Such situation presumably contributes to the rapid growth of population that reached 217.6 million in 2005 of which 50.1% are female. Life expectancy of women (60 years) was slightly higher than men (58 years) in 2004. Both numbers have been in- creasing, which certainly adds to the growing population. It also indicates better health conditions, despite the emergence of new diseases, such as avian flu and the traditional dengue fever. Migration is significantly high, particularly in the large urbanized cities like Jakarta, which currently has around 12 million inhabitants.

Since the fall of New Order administration, the economic situation of Indonesia has been characterized by dynamic changes particularly influ- enced by the gradual rise of oil price. Current GNP per capita is USD 257.6 billion with 5.1% growth, relatively very low compare to the average East Asian figure (USD 2650.9 billion). The Gross National Income per capita (GNI) is USD 1,140, slightly lower than the average East Asian countries of USD 1,496 per annum.

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1E9XnFl_JPf9bcDgJR1D6v6qjkSVH8RQ4/view?usp=sharing

Sarwidi, Dwi Wantoro, Drajat Suharjo

Berbagai macam ancaman bencana, baik alam, non-alam, maupun sosial dapat dijumpai di wilayah Indonesia. Upaya penanggulangan bencana (PB) dimaksudkan untuk menghidari bencana atau meminimalisir dampaknya. Ditinjau dari sisi konsep pengurangan risiko bencana (PRB), ancaman bencana tersebut dapat mengakibatkan bencana yang besar di wilayah permukiman manakala tingkat kerentanannya tinggi dan/atau kapasitasnya rendah.

Sebuah wilayah akan kondusif untuk pengembangan masyarakat yang madani serta lingkungan yang aman dan lestari, apabila risiko bencananya ditekan hingga serendah mungkin. Salah satu upaya dalam PRB adalah meningkatkan kapasitas komunitas sekolah. Berkaitan dengan hal tersebut, konsep Sekolah Siaga Bencana (SSB) telah mulai disosialisasikan di Indonesia sebagai upaya membangun kesiapsiagaan sekolah  dalam mengantisipasi bencana. 

Sekolah Menengah Kejuruan Nasional (SMKN) Berbah, Sleman, Yogyakarta adalah salah satu sekolah yang cukup menonjol dalam kesiapannya sebagai SSB yang lebih baik. SMKN sebagai SSB telah dievaluasi dengan menggunakan lima parameter, yaitu:  pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, mobilisasi sumber daya, dan evaluasi bangunan sederhana (tipikal tembokan). 

Makalah ini menguraikan singkat tentang evaluasi SSB untuk SMKN Berbah tersebut. Evaluasi mencakup kesiapsiagaan terhadap bencana gempabumi dan tsunami. Makalah ini dibatasi pada kesiapsiagaan dari unsur guru saja. Cakupan evaluasi kesiapsiagaan komunitas sekolah dari unsur sekolah sebagai institusi dan unsur siswa serta evaluasi bangunan fisik sekolah akan daibahas dalam makalah-makalah terpisah nantinya.  

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1eo607VC6qnNbn3lZ6kC4yorax9ycvii8/view?usp=sharing

Sarwidi

Hampir sepanjang waktunya, Gunung Merapi, yang terletak di perbatasan antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, telah memberikan banyak manfaat pada alam sekitarnya, termasuk bagi para pemukim di lerengnya. Namun  demikian, pada saat-saat tertentu Gunung Merapi bererupsi dan berpotensi memberikan ancaman dan bahkan beberapa kali sudah menimbulkan bencana. Ancaman Gunung Merapi pada pemukim di lerengnya dapat berupa ancaman primer, ancaman sekunder, dan ancaman tersier.  Hunian yang layak bagi para pemukim di Lereng Gunung Merapi harus diadaptasikan dengan ancaman-ancaman tersebut agar risiko bencana dapat ditekan serandah mungkin dan pemukim dapat merasa lebih aman untuk betempat tinggal. Makalah ini merupakan gagasan penulis tentang hunian di lereng Gunung Merapi yang adaptif dengan ancaman bencana yang ada dan kemungkinan ada. Makalah ini juga disertai dengan paparan singkat mengenai latar belakang kelahiran konsep tersebut dan pengalaman penulis dalam mengaplikasikan gagasan tersebut dengan membangun Ruang Lindung Darurat Merapi (RULINDA Merapi).

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1R81hZCsmof6fKrNkCOrC162SSFJZ-uci/view?usp=sharing

Sarwidi

Hampir sepanjang waktunya, Gunung Merapi memberikan manfaat yang luar biasa bagi sekitarnya. Lereng Gunung Merapi terkenal dengan kesuburan tanahnya karena guyuran abu Gunung Merapi. Selain padi, tanaman salak, dan pisang serta berbagai tanaman tmbuh sangat subur di sebagian besar lereng Gunung Merapi. Karena kesuburan tanahnya, bidang peternakan juga menjadi berkembang, diantaranya adalah peternakan sapi perah yang dikelola oleh beberapa koperasi di Boyolali dan kaliurang Sleman. Pasir dan batuan hasil erupsi Gunung Merapi juga sangat terkenal karena bermutu tinggi untuk bahan konstruksi. Selain itu di lereng Gunung Merapi juga terdapat beberapa tempat untuk tempat peristirahatan dan rekreasi yang cukup terkenal, diantaranya adalah wilayah Kaliurang Yogyakarta dan sekitarnya. 

Namun demikian, pada sisi yang lain, pada waktu-waktu tertentu Gunung Merapi memberikan ancaman bencana di wilayah sekitarnya, Ancaman primer Gunung Merapi berupa  awan panas yang keluar dari kawanya dan dapat menjangkau wilayah pemukiman di lerengnya. Ancaman sekundernya adalah abu vulkanis serta lahar hujan yang dapat menimbulkan gangguan dan banjir lahar dingin yang dapat menyapu wilayah di sekitar sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi.

Untuk mempertahankan dampak positif Gunung Merapi dan menekan dampak negatif Gunung Merapi, maka penanggulangan bencana dengan pendekatan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara sistematis agar tercapai hasil yang maksimum. Makalah ini memaparkan secara singkat tentang penanggulangan bencana Gunung Merapi yang sesuai dengan Sistem Nasional Penangulangan Bencana sebagaimana yang tertuang dalam UU RI No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia. Pemaparan ini bukan merupakan program formal institusi baik BNPB maupun UII, tetapi lebih bersifat opini individual penulis selaku Pengarah BNPB serta sebagai akademisi UII dan warga lereng Gunung Merapi. Dengan harapan, makalah ini dapat digunakan sebagai bahan masukan semua fihak yang terkait dengan penanggulangan bencana (PB) ataupun pengurangan risiko bencana (PRB) Gunung Merapi.

Artikel lengkap dapat diakses pada tautan berikut:

https://drive.google.com/file/d/1PotwY9bwAWcd5CPN1_adnJutNqemjt6V/view?usp=sharing

Dr. phil. Qurotul Uyun, M. Si. Psikolog

Bencana alam banyak terjadi  di Indonesia akhir-akhir ini, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor,  puting beliung, gelombang pasang, dan kebakaran hutan.  BNPB melaporkan bahwa ada 263 bencana yang terjadi selama tahun 2021. Sebaran kejadian bencana alam   selama bulan Januari 2021, meliputi hampir seluruh pulau. Sumber tersebut menyatakan juga bahwa dampak bencana dalam periode waktu itu adalah 191 orang meninggal dunia, 1 548 173 orang mengungsi, 12 042 orang mengalami luka-luka,  dan 9 orang hilang. Dampak bencana tersebut menimbulkan kerusakan rumah sebanyak 36534 rumah, dengan ragam kerusakan dari ringan, sedan, sampai berat.  

 Bencana dapat berdampak kepada berbagai aspek kehidupan.  Sejalan dengan kerugian sosial dan ekonomi, individu dan komunitas mengalami ketidakstabilan mental yang dapat memicu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecemasan dan depresi pada populasi yang terkena bencana (Makwana, 2019). Pada umumnya bencana diukur dengan biaya kerusakan sosial dan ekonomi, tetapi tidak ada bandingannya dengan penderitaan emosional yang dialami seseorang pascabencana. Secara psikologis hampir semua orang akan mengalami stres setelah kejadian bencana hebat seperti gempa bumi. Keadaan stres pascabencana merupakan sesuatu yang normal, jika tidak menjadi depresi berkepanjangan. Sebagian di antara korban akan pulih kembali dalam beberapa minggu,  beberapa bulan, tetapi ada yang beberapa tahun.  Setelah 4 (empat) bulan terjadinya bencana dapat dketahui  seberapa besar pengaruh bencana tersebut dalam diri individu. Beberapa di antara  penyintas yang kehilangan keluarganya pada saat tsunami mesih mengalami kedukaan selama lebi dari 4 bulan. Meskipun penyintas tersebut tidak sampai kehilangan kesadaran diri, akan tetapi masih memiliki rasa bersalah karena tidak mampu menolong keluarganya.  Perasaan bersalah tersebut merupakan salah satu gejala posttraumatic stress disorder (PTSD). 

Menurut skala Rahe dan Holmes, peristiwa kehilangan orang yang dicintai merupakan bentuk tekanan hidup yang terbesar (Nevid dkk, 1997), sehingga sebagian besar orang mengalami stres berat saat kehilangan orang yang dicintainya, apa lagi secara tidak terduga seperti bencana alam.  Namun demikian ada faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan individu untuk bangkit lagi setelah mengalami tekanan hidup yang hebat. Jika ada sebagian orang  mampu bangkit lagi, dan sebagian lain tidak mampu, maka ada faktor penting yang mempengaruhinya. Menurut model yang dikemukakan Keane & Barlow, terjadinya posttraumatic stress disorder dijembatani oleh dukungan sosial dan kemampuan untuk mengatasi masalah (coping) (Barlow & Durand, 2002).  Kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan bagian dari  faktor resiliensi .

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/10EYc51YeR5sj2HuT3iZcDOEa92bhYqP6/view?usp=sharing

Emi Zulaifah

Sudah hampir dua dasawarsa berlalu, namun Tsunami tahun 2004 yang menghempas bumi Aceh, Nias serta beberapa negara yang pantai-pantainya bersentuhan dengan Samudera Hindia masih dapat diingat dengan jelas. Musibah sangat dahsyat yang memakan korban serta meninggalkan penyintas dalam jumlah yang luar biasa besar meninggalkan sebuah pelajaran sangat berharga: Human Vulnerability, kerentanan manusia. Rentan dan tak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan alam yang luar biasa.  

Dalam wilayah yang penulis amati yaitu Pendidikan ilmu Psikologi, setidaknya ada beberap pihak yang mungkin melihat bencana dengan sudut pandang yang berbeda-beda: Bagi generasi yang tumbuh dan besar dengan tidak mengalami peperangan, bencana kelaparan atau  bencana alam besar, hadirnya bencana membuat mereka belajar, musibah yang lebih tak terduga bisa datang dari alam yang mereka tinggali.  Bagi akademisi dan praktisi Psikologi, dengan generasi aktif dari hasil pendidikan tahun 80-90an, hingga awal 2000 an, yang selama ini memiliki kepedulian lebih banyak pada bagaimana membangun jiwa yang mandiri, beraspirasi mengembangakn diri, serta banyak ide terkait membentuk diri sendiri untuk sebuah masa depan, kini harus berpikir tentang bagaimana kemudian memastikan kesejahteraan mental masyarakat dalam melalui peritiwa bencana.  Maka muncul kemudian inisiatif tentang penanganan Psikologis paska bencana. Bagi Program Studi Psikologi di UII, peristiwa Aceh menjadi jalan untuk ilmu ini membangun pemahaman tentang kerawanan, ketidakberdayaan manusia dihadapkan pada kekuatan alam serta melacak faktor-faktor yang akan memperkuat seseorang dalam melaluinya. Selanjutnya pemahaman baru ini terakomodasi dalam pembelajaran tentang Psikologi Kebencanaan. 

Sebagai sebuah jurusan dengan usia yang sangat muda saat itu (9 tahun), dan dalam situasi alam  yang saat itu cendrerung tenang, namun mengalami dinamika sosial-politik  perubahan pemerintahan di Indonesia, warga Fakultas Psikologi masih harus belajar bagaimana mengembangkan respon yang tepat bagi masyarakat terdampak. Sebelum Tsunami, kesadaran akan bencana lebih terkait dengan dampak dari krisis ekonomi, tentang kehilangan pekerjaan, kemiskinan, support sosial. Sebuah krisis yang kurang menimbulkan dampak “physical devastation” serta korban manusia dalam jumlah besar sehingga less traumatic bagi kami yang mengalaminya. Fokus saat itu adalah bagaimana menerima kenyataan bahwa keadaan ekonomi sedang sangat turun, biaya hidup melonjak, dan keluarga-keluarga melakukan penyesuaian finansial dan upaya untuk terus mendapatkan income demi mencukupi kebutuhan hidup,  terutama karena tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Tsunami menjadi titik balik perspektif kami tentang manusia. Dia bukan mahluk yang hidup dalam dirinya sendiri, namun keadaan lingkungan besar di luar dirinya akan berdampak terhadapnya. Di tahun 2004, FPSB melakukan komunikasi dengan organisasi Muhammadiyah yang membutuhkan relawan untuk bisa diutrunkan ke Aceh di beberapa daerah yang terdampak besar. Kami menurunkan tiga mahasiswa, salah satunya ditempatkan di Meulaboh. Selain itu sebagian dosen dan mahasiswa UII juga terlibat dalam program tanggap bencana yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada.

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1gUAbVi3VTFQDg6TJVk71sVQnLWAa8zIz/view?usp=sharing