Wiryono Raharjo

Mount Merapi has been regarded as the most active volcano among the 147 volcanoes in Indonesia. Rises 2930 meters above sea level, this stratovolcano is located 28 kilometers north of Yogyakarta City. It has been regularly erupted since 16th century, but the 2010 eruption was seen as the biggest in the past 200 years. Both author’s work place (Universitas Islam Indonesia) and residence are located within 20 kilometers radius from the crater, in which case are considered safe because the danger zone during regular eruption is 7 kilometers radius. However, when the intensity of eruption reached its peak in late October 2010, the government issued a warning which told that areas within 20 kilometers radius from the crater must be vacated. As a result, author and the whole residents of villages within such radius must find temporary shelters, ranging from government-assisted facilities, such as sports and community halls, to residences of extended families and hotels. Universitas Islam Indonesia’s main campus must also be vacated as well. This paper will describe a personal account of author experience from being a member of university’s rescue team to being a refugee who had to find temporary shelter for the family, while maintaining the academic activities during the three weeks warning period. The paper also looks at the current situation, over 5 years after the deadly 2010 eruption, to see the continuity and change of the built environment, which may reflect people’s attitude towards the danger of Mount Merapi eruption.

Sumber:

https://www.humangeo.su.se/english/development-research-conference-2016/programme/panels/panel-40-1.270627

Wiryono Raharjo

Indonesia, the largest archipelago in the world comprises (officially) over 13,000 islands, spreading between mainland Asia and Australian continent. Among these islands, Java is the fifth largest and the most urbanized. The island comprises four provinces, namely West Java, Central Java, East Java, and the Special Province of Yogyakarta.

The family planning programme orchestrated by Suharto administration in the 1970s is rarely discussed by the later governments. Many couples tend to have over two children, which contradicts the popular slogan of Suharto’s family planning programme: “two is enough”. Such situation presumably contributes to the rapid growth of population that reached 217.6 million in 2005 of which 50.1% are female. Life expectancy of women (60 years) was slightly higher than men (58 years) in 2004. Both numbers have been in- creasing, which certainly adds to the growing population. It also indicates better health conditions, despite the emergence of new diseases, such as avian flu and the traditional dengue fever. Migration is significantly high, particularly in the large urbanized cities like Jakarta, which currently has around 12 million inhabitants.

Since the fall of New Order administration, the economic situation of Indonesia has been characterized by dynamic changes particularly influ- enced by the gradual rise of oil price. Current GNP per capita is USD 257.6 billion with 5.1% growth, relatively very low compare to the average East Asian figure (USD 2650.9 billion). The Gross National Income per capita (GNI) is USD 1,140, slightly lower than the average East Asian countries of USD 1,496 per annum.

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1E9XnFl_JPf9bcDgJR1D6v6qjkSVH8RQ4/view?usp=sharing

Sarwidi, Dwi Wantoro, Drajat Suharjo

Berbagai macam ancaman bencana, baik alam, non-alam, maupun sosial dapat dijumpai di wilayah Indonesia. Upaya penanggulangan bencana (PB) dimaksudkan untuk menghidari bencana atau meminimalisir dampaknya. Ditinjau dari sisi konsep pengurangan risiko bencana (PRB), ancaman bencana tersebut dapat mengakibatkan bencana yang besar di wilayah permukiman manakala tingkat kerentanannya tinggi dan/atau kapasitasnya rendah.

Sebuah wilayah akan kondusif untuk pengembangan masyarakat yang madani serta lingkungan yang aman dan lestari, apabila risiko bencananya ditekan hingga serendah mungkin. Salah satu upaya dalam PRB adalah meningkatkan kapasitas komunitas sekolah. Berkaitan dengan hal tersebut, konsep Sekolah Siaga Bencana (SSB) telah mulai disosialisasikan di Indonesia sebagai upaya membangun kesiapsiagaan sekolah  dalam mengantisipasi bencana. 

Sekolah Menengah Kejuruan Nasional (SMKN) Berbah, Sleman, Yogyakarta adalah salah satu sekolah yang cukup menonjol dalam kesiapannya sebagai SSB yang lebih baik. SMKN sebagai SSB telah dievaluasi dengan menggunakan lima parameter, yaitu:  pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, mobilisasi sumber daya, dan evaluasi bangunan sederhana (tipikal tembokan). 

Makalah ini menguraikan singkat tentang evaluasi SSB untuk SMKN Berbah tersebut. Evaluasi mencakup kesiapsiagaan terhadap bencana gempabumi dan tsunami. Makalah ini dibatasi pada kesiapsiagaan dari unsur guru saja. Cakupan evaluasi kesiapsiagaan komunitas sekolah dari unsur sekolah sebagai institusi dan unsur siswa serta evaluasi bangunan fisik sekolah akan daibahas dalam makalah-makalah terpisah nantinya.  

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1eo607VC6qnNbn3lZ6kC4yorax9ycvii8/view?usp=sharing

Sarwidi

Hampir sepanjang waktunya, Gunung Merapi, yang terletak di perbatasan antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, telah memberikan banyak manfaat pada alam sekitarnya, termasuk bagi para pemukim di lerengnya. Namun  demikian, pada saat-saat tertentu Gunung Merapi bererupsi dan berpotensi memberikan ancaman dan bahkan beberapa kali sudah menimbulkan bencana. Ancaman Gunung Merapi pada pemukim di lerengnya dapat berupa ancaman primer, ancaman sekunder, dan ancaman tersier.  Hunian yang layak bagi para pemukim di Lereng Gunung Merapi harus diadaptasikan dengan ancaman-ancaman tersebut agar risiko bencana dapat ditekan serandah mungkin dan pemukim dapat merasa lebih aman untuk betempat tinggal. Makalah ini merupakan gagasan penulis tentang hunian di lereng Gunung Merapi yang adaptif dengan ancaman bencana yang ada dan kemungkinan ada. Makalah ini juga disertai dengan paparan singkat mengenai latar belakang kelahiran konsep tersebut dan pengalaman penulis dalam mengaplikasikan gagasan tersebut dengan membangun Ruang Lindung Darurat Merapi (RULINDA Merapi).

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1R81hZCsmof6fKrNkCOrC162SSFJZ-uci/view?usp=sharing

Sarwidi

Hampir sepanjang waktunya, Gunung Merapi memberikan manfaat yang luar biasa bagi sekitarnya. Lereng Gunung Merapi terkenal dengan kesuburan tanahnya karena guyuran abu Gunung Merapi. Selain padi, tanaman salak, dan pisang serta berbagai tanaman tmbuh sangat subur di sebagian besar lereng Gunung Merapi. Karena kesuburan tanahnya, bidang peternakan juga menjadi berkembang, diantaranya adalah peternakan sapi perah yang dikelola oleh beberapa koperasi di Boyolali dan kaliurang Sleman. Pasir dan batuan hasil erupsi Gunung Merapi juga sangat terkenal karena bermutu tinggi untuk bahan konstruksi. Selain itu di lereng Gunung Merapi juga terdapat beberapa tempat untuk tempat peristirahatan dan rekreasi yang cukup terkenal, diantaranya adalah wilayah Kaliurang Yogyakarta dan sekitarnya. 

Namun demikian, pada sisi yang lain, pada waktu-waktu tertentu Gunung Merapi memberikan ancaman bencana di wilayah sekitarnya, Ancaman primer Gunung Merapi berupa  awan panas yang keluar dari kawanya dan dapat menjangkau wilayah pemukiman di lerengnya. Ancaman sekundernya adalah abu vulkanis serta lahar hujan yang dapat menimbulkan gangguan dan banjir lahar dingin yang dapat menyapu wilayah di sekitar sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi.

Untuk mempertahankan dampak positif Gunung Merapi dan menekan dampak negatif Gunung Merapi, maka penanggulangan bencana dengan pendekatan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara sistematis agar tercapai hasil yang maksimum. Makalah ini memaparkan secara singkat tentang penanggulangan bencana Gunung Merapi yang sesuai dengan Sistem Nasional Penangulangan Bencana sebagaimana yang tertuang dalam UU RI No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia. Pemaparan ini bukan merupakan program formal institusi baik BNPB maupun UII, tetapi lebih bersifat opini individual penulis selaku Pengarah BNPB serta sebagai akademisi UII dan warga lereng Gunung Merapi. Dengan harapan, makalah ini dapat digunakan sebagai bahan masukan semua fihak yang terkait dengan penanggulangan bencana (PB) ataupun pengurangan risiko bencana (PRB) Gunung Merapi.

Artikel lengkap dapat diakses pada tautan berikut:

https://drive.google.com/file/d/1PotwY9bwAWcd5CPN1_adnJutNqemjt6V/view?usp=sharing

Dr. phil. Qurotul Uyun, M. Si. Psikolog

Bencana alam banyak terjadi  di Indonesia akhir-akhir ini, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor,  puting beliung, gelombang pasang, dan kebakaran hutan.  BNPB melaporkan bahwa ada 263 bencana yang terjadi selama tahun 2021. Sebaran kejadian bencana alam   selama bulan Januari 2021, meliputi hampir seluruh pulau. Sumber tersebut menyatakan juga bahwa dampak bencana dalam periode waktu itu adalah 191 orang meninggal dunia, 1 548 173 orang mengungsi, 12 042 orang mengalami luka-luka,  dan 9 orang hilang. Dampak bencana tersebut menimbulkan kerusakan rumah sebanyak 36534 rumah, dengan ragam kerusakan dari ringan, sedan, sampai berat.  

 Bencana dapat berdampak kepada berbagai aspek kehidupan.  Sejalan dengan kerugian sosial dan ekonomi, individu dan komunitas mengalami ketidakstabilan mental yang dapat memicu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecemasan dan depresi pada populasi yang terkena bencana (Makwana, 2019). Pada umumnya bencana diukur dengan biaya kerusakan sosial dan ekonomi, tetapi tidak ada bandingannya dengan penderitaan emosional yang dialami seseorang pascabencana. Secara psikologis hampir semua orang akan mengalami stres setelah kejadian bencana hebat seperti gempa bumi. Keadaan stres pascabencana merupakan sesuatu yang normal, jika tidak menjadi depresi berkepanjangan. Sebagian di antara korban akan pulih kembali dalam beberapa minggu,  beberapa bulan, tetapi ada yang beberapa tahun.  Setelah 4 (empat) bulan terjadinya bencana dapat dketahui  seberapa besar pengaruh bencana tersebut dalam diri individu. Beberapa di antara  penyintas yang kehilangan keluarganya pada saat tsunami mesih mengalami kedukaan selama lebi dari 4 bulan. Meskipun penyintas tersebut tidak sampai kehilangan kesadaran diri, akan tetapi masih memiliki rasa bersalah karena tidak mampu menolong keluarganya.  Perasaan bersalah tersebut merupakan salah satu gejala posttraumatic stress disorder (PTSD). 

Menurut skala Rahe dan Holmes, peristiwa kehilangan orang yang dicintai merupakan bentuk tekanan hidup yang terbesar (Nevid dkk, 1997), sehingga sebagian besar orang mengalami stres berat saat kehilangan orang yang dicintainya, apa lagi secara tidak terduga seperti bencana alam.  Namun demikian ada faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan individu untuk bangkit lagi setelah mengalami tekanan hidup yang hebat. Jika ada sebagian orang  mampu bangkit lagi, dan sebagian lain tidak mampu, maka ada faktor penting yang mempengaruhinya. Menurut model yang dikemukakan Keane & Barlow, terjadinya posttraumatic stress disorder dijembatani oleh dukungan sosial dan kemampuan untuk mengatasi masalah (coping) (Barlow & Durand, 2002).  Kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan bagian dari  faktor resiliensi .

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/10EYc51YeR5sj2HuT3iZcDOEa92bhYqP6/view?usp=sharing

Emi Zulaifah

Sudah hampir dua dasawarsa berlalu, namun Tsunami tahun 2004 yang menghempas bumi Aceh, Nias serta beberapa negara yang pantai-pantainya bersentuhan dengan Samudera Hindia masih dapat diingat dengan jelas. Musibah sangat dahsyat yang memakan korban serta meninggalkan penyintas dalam jumlah yang luar biasa besar meninggalkan sebuah pelajaran sangat berharga: Human Vulnerability, kerentanan manusia. Rentan dan tak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan alam yang luar biasa.  

Dalam wilayah yang penulis amati yaitu Pendidikan ilmu Psikologi, setidaknya ada beberap pihak yang mungkin melihat bencana dengan sudut pandang yang berbeda-beda: Bagi generasi yang tumbuh dan besar dengan tidak mengalami peperangan, bencana kelaparan atau  bencana alam besar, hadirnya bencana membuat mereka belajar, musibah yang lebih tak terduga bisa datang dari alam yang mereka tinggali.  Bagi akademisi dan praktisi Psikologi, dengan generasi aktif dari hasil pendidikan tahun 80-90an, hingga awal 2000 an, yang selama ini memiliki kepedulian lebih banyak pada bagaimana membangun jiwa yang mandiri, beraspirasi mengembangakn diri, serta banyak ide terkait membentuk diri sendiri untuk sebuah masa depan, kini harus berpikir tentang bagaimana kemudian memastikan kesejahteraan mental masyarakat dalam melalui peritiwa bencana.  Maka muncul kemudian inisiatif tentang penanganan Psikologis paska bencana. Bagi Program Studi Psikologi di UII, peristiwa Aceh menjadi jalan untuk ilmu ini membangun pemahaman tentang kerawanan, ketidakberdayaan manusia dihadapkan pada kekuatan alam serta melacak faktor-faktor yang akan memperkuat seseorang dalam melaluinya. Selanjutnya pemahaman baru ini terakomodasi dalam pembelajaran tentang Psikologi Kebencanaan. 

Sebagai sebuah jurusan dengan usia yang sangat muda saat itu (9 tahun), dan dalam situasi alam  yang saat itu cendrerung tenang, namun mengalami dinamika sosial-politik  perubahan pemerintahan di Indonesia, warga Fakultas Psikologi masih harus belajar bagaimana mengembangkan respon yang tepat bagi masyarakat terdampak. Sebelum Tsunami, kesadaran akan bencana lebih terkait dengan dampak dari krisis ekonomi, tentang kehilangan pekerjaan, kemiskinan, support sosial. Sebuah krisis yang kurang menimbulkan dampak “physical devastation” serta korban manusia dalam jumlah besar sehingga less traumatic bagi kami yang mengalaminya. Fokus saat itu adalah bagaimana menerima kenyataan bahwa keadaan ekonomi sedang sangat turun, biaya hidup melonjak, dan keluarga-keluarga melakukan penyesuaian finansial dan upaya untuk terus mendapatkan income demi mencukupi kebutuhan hidup,  terutama karena tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Tsunami menjadi titik balik perspektif kami tentang manusia. Dia bukan mahluk yang hidup dalam dirinya sendiri, namun keadaan lingkungan besar di luar dirinya akan berdampak terhadapnya. Di tahun 2004, FPSB melakukan komunikasi dengan organisasi Muhammadiyah yang membutuhkan relawan untuk bisa diutrunkan ke Aceh di beberapa daerah yang terdampak besar. Kami menurunkan tiga mahasiswa, salah satunya ditempatkan di Meulaboh. Selain itu sebagian dosen dan mahasiswa UII juga terlibat dalam program tanggap bencana yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada.

Sumber:

https://drive.google.com/file/d/1gUAbVi3VTFQDg6TJVk71sVQnLWAa8zIz/view?usp=sharing

Dwi Handayani, Berta Maya Sopha, Budi Hartono, M K Herliansyah

Perencanaan yang baik merupakan faktor penting dalam keberhasilan evakuasi, khususnya pada evakuasi bencana erupsi Gunung Merapi. Evakuasi yang terencana dengan baik dapat menyelamatkan ribuan nyawa, harta benda dan infrastruktur sosial. Hal ini sejalan dengan tujuan dari Humanitarian Logisics yaitu merancang dan mengendalikan sistem yang efektif dan efisien guna meringankan penderitaan korban bencana. 

Permasalahan yang ada saat ini yaitu kebijakan penentuan jalur evakuasi pada saat erupsi Gunung Merapi belum dilaksanakan secara sistematis dan kuantitatif, sehingga kebijakan penentuan jalur evakuasi dinilai belum efektif dan efisien. Perencanaan kuantitatif dinilai lebih baik karena lebih terukur yang melibatkan analisis mendalam berdasarkan berbagai skenario yang diperoleh dari simulasi komputer. 

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis pustaka dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan. Hasil kajian pustaka menghasilkan diagram alir perilaku yang terdiri dari lima jenis perilaku masyarakat Gunung Merapi saat menghadapi evakuasi bencana. Diagram alir perilaku tersebut merupakan model konsep sebagai dasar untuk merancang model Agent-Based Modeling (ABM), yaitu pemodelan berbasis komputer, dimana model tersebut diharapkan mampu menerapkan interaksi dari sistem adaptif yang kompleks yang menitikberatkan pada pendekatan bottom-up.

Sumber:

https://medwelljournals.com/abstract/?doi=jeasci.2017.5443.5451 

https://m.bernas.id/66957-sistem-evakuasi-bencana-merapi-tekan-korban-jiwa.html 

http://radioedukasi.kemdikbud.go.id/read/1870/edukasi-pemahaman-jalur-evakuasi-merapi-masih-perlu-dilakukan.html 

https://news.harianjogja.com/read/2019/01/29/500/968481/merapi-luncurkan-lava-pijar-ke-hulu-kali-gendol-boyolali-hujan-abu-

 

Colleagues from Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Islam Indonesia (both Yogyakarta) and President University (Cikarang) attended the Erasmus+ Cluster meeting on the 27th November in Jakarta and gave a sneak preview of the BUiLD project just a few days before the official Kick-off meeting. 

The project is aimed at delivering a comprehensive Disaster Resilience Framework across Indonesia’s higher education sector. This involves the creation of 8 Centres of Excellence in Disaster Resilience across Indonesia, the development of curriculum benchmarks for disaster management education, the delivery of disaster awareness training using virtual reality and the establishment of a national network for knowledge exchange, research and innovation and fundraising.

Aligned with the aims of the Erasmus+ Capacity Building in Higher Education programme, the project will thus lead to the modernisation of university governance across Indonesia, improve the management and functioning of universities in crisis situations, and strengthen their external relationships.

Led by the University of Gloucestershire (United Kingdom), the BUiLD project brings together eight universities from across Indonesia. In addition to UAD, UII and President University (all Java), these include Universitas Andalas (West Sumatera), Universitas Lambung Mangkurat (Kalimantan), Universitas Muhammadiyah Palu (Sulawesi), Universitas Khairun (North Maluku) and Universitas Surabaya (Java). The European partners are University College Copenhagen (Denmark), Institute Polytechnic Porto (Portugal) and Hafelakar (Austria).

Sumber: http://disasterresilience.eu/sneak-preview-of-the-building-universities-in-disaster-resilience-build-project-at-the-erasmus-cluster-meeting-in-jakarta

 

Juhri Iwan Agriawan dan Arif Wismadi

Yogyakarta’s Merapi volcano eruption in 2010 is one of the major disasters in Indonesia, which resulted in 277 deaths, and affected almost 380,000 people during the emergency phase. For some time, the victims must deal with the low level of life quality in the temporary shelter with limited livelihood support. The complexity of donations flowing from the international level to the local community calls for a better logistics system, especially the logistics centre for the last mile distribution. This article describes the role of public buildings as logistics centre during the volcano eruption. Some challenges are discussed for further research.

Sumber:

https://books.google.co.id/books?id=LzLJmpboy94C&pg=PA99&lpg=PA99&dq=%22arif+wismadi%22+disaster&source=bl&ots=lhj0CVYdSd&sig=ACfU3U0JIfMQpQs-uAO8GeScztT4VWCgTg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwimhNm6irnwAhWRumMGHe4WDYAQ6AEwEXoECA8QAw#v=onepage&q=%22arif%20wismadi%22%20disaster&f=false