Belajar dari Bencana: FPSB UII mendampingi masyarakat, menumbuhkan Resiliensi
Emi Zulaifah
Sudah hampir dua dasawarsa berlalu, namun Tsunami tahun 2004 yang menghempas bumi Aceh, Nias serta beberapa negara yang pantai-pantainya bersentuhan dengan Samudera Hindia masih dapat diingat dengan jelas. Musibah sangat dahsyat yang memakan korban serta meninggalkan penyintas dalam jumlah yang luar biasa besar meninggalkan sebuah pelajaran sangat berharga: Human Vulnerability, kerentanan manusia. Rentan dan tak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan alam yang luar biasa.
Dalam wilayah yang penulis amati yaitu Pendidikan ilmu Psikologi, setidaknya ada beberap pihak yang mungkin melihat bencana dengan sudut pandang yang berbeda-beda: Bagi generasi yang tumbuh dan besar dengan tidak mengalami peperangan, bencana kelaparan atau bencana alam besar, hadirnya bencana membuat mereka belajar, musibah yang lebih tak terduga bisa datang dari alam yang mereka tinggali. Bagi akademisi dan praktisi Psikologi, dengan generasi aktif dari hasil pendidikan tahun 80-90an, hingga awal 2000 an, yang selama ini memiliki kepedulian lebih banyak pada bagaimana membangun jiwa yang mandiri, beraspirasi mengembangakn diri, serta banyak ide terkait membentuk diri sendiri untuk sebuah masa depan, kini harus berpikir tentang bagaimana kemudian memastikan kesejahteraan mental masyarakat dalam melalui peritiwa bencana. Maka muncul kemudian inisiatif tentang penanganan Psikologis paska bencana. Bagi Program Studi Psikologi di UII, peristiwa Aceh menjadi jalan untuk ilmu ini membangun pemahaman tentang kerawanan, ketidakberdayaan manusia dihadapkan pada kekuatan alam serta melacak faktor-faktor yang akan memperkuat seseorang dalam melaluinya. Selanjutnya pemahaman baru ini terakomodasi dalam pembelajaran tentang Psikologi Kebencanaan.
Sebagai sebuah jurusan dengan usia yang sangat muda saat itu (9 tahun), dan dalam situasi alam yang saat itu cendrerung tenang, namun mengalami dinamika sosial-politik perubahan pemerintahan di Indonesia, warga Fakultas Psikologi masih harus belajar bagaimana mengembangkan respon yang tepat bagi masyarakat terdampak. Sebelum Tsunami, kesadaran akan bencana lebih terkait dengan dampak dari krisis ekonomi, tentang kehilangan pekerjaan, kemiskinan, support sosial. Sebuah krisis yang kurang menimbulkan dampak “physical devastation” serta korban manusia dalam jumlah besar sehingga less traumatic bagi kami yang mengalaminya. Fokus saat itu adalah bagaimana menerima kenyataan bahwa keadaan ekonomi sedang sangat turun, biaya hidup melonjak, dan keluarga-keluarga melakukan penyesuaian finansial dan upaya untuk terus mendapatkan income demi mencukupi kebutuhan hidup, terutama karena tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Tsunami menjadi titik balik perspektif kami tentang manusia. Dia bukan mahluk yang hidup dalam dirinya sendiri, namun keadaan lingkungan besar di luar dirinya akan berdampak terhadapnya. Di tahun 2004, FPSB melakukan komunikasi dengan organisasi Muhammadiyah yang membutuhkan relawan untuk bisa diutrunkan ke Aceh di beberapa daerah yang terdampak besar. Kami menurunkan tiga mahasiswa, salah satunya ditempatkan di Meulaboh. Selain itu sebagian dosen dan mahasiswa UII juga terlibat dalam program tanggap bencana yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada.
Sumber:
https://drive.google.com/file/d/1gUAbVi3VTFQDg6TJVk71sVQnLWAa8zIz/view?usp=sharing